( www.infospesial.net )
HIDUP sebenarnya tak terlalu sulit, karena yang dicari ribuan orang di muka bumi ini sebenarnya sama. Bahagia. Apapun demi bahagia, orang akan melakukan apapun. Tak ada lagi batas haram atau halal, pokoknya hajar, bleh!, begitu remaja gaul menyerukan kalimat penyemangat itu. Tak peduli benar atau salah, toh batasan itu semakin abu-abu.
Seperti juga bahagia yang dicari Raffi tentu akan berbeda dengan bahagianya seorang tuna netra yang puas menikmati segarnya udara laut, meski ia tak bisa menemukan keindahan itu lewat matanya. Bahwa bahagia bersandar kuat pada kata relatif, meski wujudnya pastinya sama : sebuah rasa puas, lega dan merasa tanpa beban.
Namun, kepuasan hidup yang telah diraih pun belum tentu menjamin seseorang bisa berkata lantang, Ya, aku bahagia. Saat semuanya sudah ada dalam genggaman tangan, terkadang terselip sedikit niat bermain-main dengan masalah. Tak dipungkiri, harta, wanita, dan kuasa adalah ranah empuk nan gembur subur, menjanjikan munculnya bibit-bibit masalah baru.
Tak heran, masalah umum di muka bumi ini muncul serupa. Seperti menemukan ke-khas-an di antara sekian banyak isi otak dan pemikiran orang. Ide mereka sama menciptakan masalah baru. Dari mulai korupsi, konspirasi, narkoba, dan perselingkuhan, semuanya hadir menyemarakkan wajah dunia. Mereka yang terlibat harus terima nasib jadi objek lawanan semesta. Masalah yang sudah dipilih, pada akhirnya memperpanjang jarak mereka bertemu bahagia.
Bercermin pada kisah Raffi, penampilannya di layar kaca selalu nampak segar. Melihat keceriaan Raffi tentu saja sejenak terbersit iri. Hidupnya ceria, bahagia, dan dipenuhi tawa. Namun, tampilan di permukaan memang bisa jadi salah terbaca mata pemirsa, dan juga keluarganya. Ia mungkin sebenarnya tengah kesepian, lelah dan bingung.
Sebagai anak pertama, Raffi adalah tulang punggung keluarga. Sepeninggal ayahnya dua belas tahun lalu, ia merasa perlu turut memikirkan nasib ibu dan kedua adik perempuannya. Berbekal wajah tampan dan bakat beraktingnya, bintang Raffi melesat cepat bersinar di dunia keartisan. Membawa pundi-pundi kemakmuran di keluarga mereka.
Apa yang dicari Raffi mungkin sudah ditemukan, melihat ibu dan adik-adiknya senang, adalah bahagianya. Namun, akankah dia sudah benar-benar tenang dengan semua pencapaian itu? Hmm, tak ada yang pernah tahu, kecuali kita bisa membaca isi hati Raffi.
Peka
Meminjam istilah dunia ini panggung sandiwara, Raffi saat ini tengah memainkan lakon drama realita yang sesungguhnya. Raffi bertemu narkoba yang dipilih sebagai jalan pintas untuk menemukan apa yang dicarinya, sebuah bahagia. Ia hanya perlu meyakinkan dunia di sekelilingnya dengan ceria dan tawanya bahwa ia baik-baik saja.
Namun, mencari bahagia ibarat mencari mutiara di kedalaman lautan. Dibutuhkan penyelam yang mahir untuk menemukannya, diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk berjumpa dengannya. Bahagia yang sederhana, namun untuk mencapainya terkadang dibutuhkan ketidaktahuan, ketamakan, kebencian dan kemarahan.
Dalam proses itu pun dibutuhkan kepekaan tingkat tinggi untuk mengenali suara hati. Karena godaan dan rayuan hanya akan kalah saat suara hati dimenangkan. Dan segala logika yang disuntikkan ke syaraf otak perlu diseimbangkan dengan kepekaan pada hati nurani. Apakah jalan yang aku ambil sudah salah ataukah belum benar?
Mata hati Raffi mungkin telah ditutupi oleh tebalnya kerak godaan. Hidup makmur yang didapatnya setelah bertahun-tahun merintis karir pada akhirnya mengajaknya bertemu masalah. Tapi, bukankah hidup itu belajar mengatasi masalah?. Belajar untuk berani kuat menghadapi perputarannya yang tak tentu, selayaknya roda yang terus berputar.
Semua akan bisa terasa saat kita sudah mengalaminya, seperti halnya memilih jalan yang salah, dan tersesat tak tahu arah jalan pulang. Menyesal salah jalan tak akan pernah membawa kita kemana-mana, kecuali kita mau mencari jalan keluar.
Ya, ini tak hanya menjadi pembelajaran untuk Raffi, tapi kita semua, bahwa sejatinya bahagia itu tak perlu dicari tapi harus diciptakan (dari hati). Dengan mensyukuri apa yang sudah dimiliki, menjaganya dengan baik dan mengolahnya menjadi berkah. Karena hanya sia-sia mencari bahagia, tapi kenyataannya harus melewati sebuah kepura-puraan besar. Seperti menumpuk kesengsaraan yang berujung menderita.
(Sumber)