Pada Agustus tahun 2011, pemerintah memutuskan menghentikan sementara (moratorium) penerimaan atau rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS). Alasannya, ingin menertibkan PNS yang saat ini jumlahnya sangat besar. Moratorium penerimaan CPNS yang berlangsung selama 16 bulan, resmi berakhir 31 Desember 2012.
Moratorium PNS selama 16 bulan pun diklaim berhasil menghemat anggaran sekaligus mengubah perilaku penerimaan PNS. Jumlah PNS berkurang dari 4,7 juta menjadi 4,5 juta.
Sejalan dengan berakhirnya moratorium PNS, kebutuhan dan komposisi PNS pun sudah dipetakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB). Sudah jauh-jauh hari sebelum program ini berakhir, pemerintah mengumumkan akan adanya penerimaan CPNS secara besar-besaran.
Tak tanggung-tanggung, Menteri PAN-RB Azwar Abubakar menyebutkan bahwa secara umum pemerintah membuka peluang untuk 60.000 PNS termasuk profesi dokter dan perawat.
Wakil Presiden Boediono melalui siaran persnya yang diterima kemarin, Senin (21/1) menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun, jumlah penerimaan PNS akan terus disesuaikan dengan kebutuhan.
Perekrutan PNS hanya bisa dilakukan dengan syarat terlebih dahulu memiliki peta jabatan serta rencana kebutuhan pegawai untuk lima tahun ke depan yang didukung oleh analisis jabatan dan analisis beban kerja.
Pola rekrutmen PNS pun akan terbuka, fair, bersih, efisien, dan akuntabel. Tidak semua pemerintah daerah atau kementerian/lembaga yang diizinkan melakukan penerimaan PNS.
Perekrutan hanya dilakukan oleh kementerian-lembaga-pemerintah daerah yang anggaran belanja pegawainya di bawah 50 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selain itu perekrutan hanya dilakukan setelah mendapat izin dari Komite Pengarah Reformasi Birokrasi yang diketuai Wakil Presiden.
Di sisi lain, penghentian moratorium PNS mendapat sorotan dari lembaga riset ekonomi INDEF yang menilai moratorium PNS perlu dilanjutkan untuk menekan besarnya belanja pegawai saat ini. Pembengkakan pegawai masih terjadi terutama di daerah.
Direktur eksekutif INDEF Ahmad Erani Yustika mengatakan bahwa gendutnya komposisi pegawai terlihat dari besarnya alokasi belanja pegawai di tiap instansi. Jumlah pegawai idealnya haruslah proporsional sesuai anggaran.
Besarnya belanja pegawai dinilai tidak produktif dari sisi pembangunan. Hal ini karena tidak diiringi perbaikan kebutuhan pelayanan masyarakat. Sebaiknya pemerintah dapat mengeluarkan aturan besaran alokasi belanja pegawai.
"Moratorium harus (tetap) dilakukan. Kaji betul-betul sejauh mana PNS menjawab kebutuhan pelayanan pada masyarakat," ujar Erani.
Belanja pegawai terutama di daerah, telah menelan sebagian besar DAU dan DAK. Belanja pegawai memakan porsi 42,33 persen pada APBNP 2012 atau sebesar Rp 261,15 triliun. Sementara belanja modal hanya mendapat 22,28 persen atau Rp 137,43 triliun.
"Ini membuat pembangunan infrastruktur rendah. Dan tidak ada terobosan untuk pembangunan daerah miskin," katanya.
SUMBER